Selasa, 16 Mei 2017

Sejarah Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia sebagai gagasan, paradigma serta kerangka konseptual tidak lahir secara mendadak. Sebagaimana kita lihat dalam “Universal Declaration of Human Right” 10 Desember 1948, namun melalui suatu proses yang cukup panjang dalam peradaban manusia. Dari perspektif sejarah deklarasi yang ditanda tangani oleh Majelis Umum PBB tersebut dihayati sebagai suatu pengakuan yuridis formal dan merupakan acuan normatif khususnya yang bergabung dalam PBB. Usaha konseptualisasi hak-hak asasi manusia jauh sebelumnya telah muncul ditengah-tengah masyarakat umat manusia, baik dibarat maupun ditimur kendati demikian upaya tersebut masih bersifat lokal.

Sejarah Hak Asasi Manusia
Sejarah Hak Asasi Manusia

         Pada zaman Yunani Kuno Plato (428-348 SM) telah memaklumkan kepada warganya, bahwa kesejahteraan bersama akan tercapai manakala setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam akar kebudayaan Indonesia pun pengakuan serta penghormatan tentang hak asasi manusia telah mulai berkembang, misalnya dalam masyarakat Jawa telah dikenal istilah “Hak Pepe” yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa.

         Puncak perkembangan perjuangan hak-hak asasi manusia tersebut yaitu ketika “Human Right” tersebut dirumuskan untuk pertama kalinya secara resmi dalam “Declaration of Independence” di Amerika Serikat pada tahun 1776. Dalam deklarasi Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1776 tersebut dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak yang tetap dan melekat pada dirinya. Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi kemudian menjadi pokok konstitusi negara Amerika Serikat pada tahun 1781 dan mulai berlaku pada tanggal 4 maret 1789.

            Perjuangan hak-hak asasi manusia itu sebenarnya telah diawali oleh negara Perancis sejak Rousseau, dan perjuangan itu memunvak dalam revolusi Perancis tahun 1780, yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam “Declaration des Droits L’Homme rt du Citoyen” yang pada tahun itu ditetapkan oleh Assemblee Nationale Perancis dan pada tahun 1791 berikutnya dimana Semboyan Revolusi Perancis yang terkenal, yaitu (1) Liberte (kemerdekaan), (2) Egalite (kesamarataan), (3) Fraternite (kerukunan atau persaudaraan). Maka menurut konstitusi Perancis yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dengan hakikatnya.

Dalam rangka konseptualisasi dan reinterpretsi terhadap hak-hak asasi yang mencakup bidang-bidang yang lebih luas itu, Franklin D Roosevelt, Presiden Amerika Serikat pada permulaan abad ke 20 memformulasikan empat macam hak-hak asasi manusia yang kemudian dikenal dengan The Four Freedoms” yaitu (1) Freedom of speech (kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat), (2) Freedom of Religion (kebebasan beragama), (3) Freedom from fear (kebebasan dari rasa takut), (4) Freedom from want (kebebasan dari kemelaratan). Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi dari Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948.

Terhadap deklarasi sedunia tentang hak-hak asasimanusia PBB tersebut, bangsa-bangsa sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal walaupun dalam realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rabu, 10 Mei 2017

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

A. HUKUM DASAR TERTULIS (UUD 1945)

Hukum dasar tertulis (UUD 1945) menurut E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law, menurut sifat dan fungsinya dalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
UUD

Dalam Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesque, kekuasaan disuatu negara dibagi menjadi tiga, yaitu antara lain kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan dalam suatu negara yang berwewenang membuat dan menetapkan undang-undang. Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan untuk menjalankan ketentuan undang-undang. Sedangkan kekuasaan Yudikatif merupakan kekuasaan yang mengawasi dan menyelesaikan sengketa atau pelanggaran-pelanggaran ketentuan undang-undang.

UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara, baik hubungan antara lembaga-lembaga negara, negara dengan warga negara, dan negara dengan lembaga-lembaga negara. Dalam penjelasan disebutkan bahwa UUD bersifat singkat dan supel. Jika dibandingkan dengan UUD negara lain, UUD 1945 hanya memuat 37 pasal. Pasal lain hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan. Hal ini mengandung makna :

1.       Telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar instruksi  kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.

2.       Sifatnya yang supel (elasatis) dimaksudkan bahwa kita senantiasa ingat bahwa masyarakat itu harus terus berkembang.

3.       Menurut Padmowahyono seluruh kegiatan negara dapat dikelompokkan menjadi dua macam :

a.       Penyelenggaraan kehidupan negara;
b.      Penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Sifat UUD 1945 adalah sebagai berikut :
1.       Oleh karena sifatnya tertulis, maka rumusannya jelas merupakan suatu hukum positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun mengikat bagi setiap warga negara.
2.       Sifatnya yang supel dan elastis dimaksudkan bahwa Undang-Undang Dasar memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman (dinamis).
3.       Memuat norma-norma, aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
4.       UUD 1945 dalam tata tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi, disamping itu sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarki tertib hukum Indonesia.

B. HUKUM DASAR TIDAK TERTULIS (KONVENSI)

Konvensi adalah hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi mempunyai sifat:
1.       Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam penyelenggaraan negara.
2.       Tidak bertentangan dengan UUD dan berjalan sejajar.
3.       Diterima oleh seluruh rakyat.
4.       Bersifat sebagai pelengkap sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam UUD.
Contoh-contoh konvensi adalah sebagai berikut :
1.       Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
2.       Praktek-praktek penyelenggaraan negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis, antara lain :
a.       Pidato kenegaraan presiden RI setiap tanggal 16 agustus di dalam sidang DPR.
b.      Pidato presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang RAPBN pada minggu pertama pada bulan januari setiap tahunnya.

Bilamana konvensi ingin dijadikan rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenang adalah MPR. Rumusannya bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR. Konvensi bilamana dikehendaki untuk menjadi suatu aturan dasar yang tertulis, tidak secara otomatis setingkat dengan UUD melainkan sebagai suatu ketetapan MPR.

C. KONSTITUSI
Konstitusi berasal dari bahasa Inggris “Constitution” atau dari bahasa Belanda “Constitutie”. Yang artinya adalah Undang-undang Dasar. Konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai arti: 1. Lebih luas dari pada UUD dan 2. Sama dengan pengertian UUD.

Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas dari pada pengertian UUD, karena pengertian UUD hanya meliputi konstitusi tertulis saja dan selain itu masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam UUD.

Dalam praktek ketatanegaraan Negara Republik Indonesia pengertian konstitusi adalah sama dengan pengertian UUD. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi RIS bagi UUD RIS.

Solly Lobis berpendapat bahwa konstitusi memiliki dua pengertian yaitu konstitusi tertulis (UUD) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi). Menurut Soehino, khususnya di Indonesia, istilah Undang-Undang Dasar digunakan untuk menyebut atau menunjuk pada istilah hukum dasar. Dalam penjelasan umum disebutkan Undang-Undang Dasar suatu negara adalah hanya sebagian dari hukum dasar itu, Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.

Konstitusi tidak tertulis salah satu contohnya adalah hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang bersifat mengikat meskipun tidak tertulis dan sering dijalankan serta dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak kebudayaan, sehingga hukum ini sudah tidak asing lagi di negara kita.     

Selasa, 09 Mei 2017

Pancasila Sebagai Paradigma Dalam Pembangunan Nasional

     Pengertian paradigma oleh lpara sarjana terdapat beberapa terminologi, sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Sebagai contoh dikemukakan oleh :
1.       ThomasS. Khun : Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar atau asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode, cara serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pancasila Sebagai Paradigma Dalam Pembangunan Nasional
Pancasila

2.       Secara terminologi pengertian paradigma berkembang sehingga berkonotasi sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu, termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi maupun pendidikan.

A.        PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN IPTEKS

Sila-sila pancasila merupakan satu kesatuan yang sistematis haruslah menjadi sistem etika dalam pembanguna ipteks. Hal ini dapat dilihat masing-masing sila memiliki kontribusi positif dalam pembangunan dibidang ipteks.

1.  Sila 1, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta perimbangan antara rasional dan irrasional, antara akal, rasa dan kehendak.

2.    Sila 2, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan ipteks haruslah bersifat beradab.

3.      Sila 2, mengkomplementasikan universalitas dan internasionalisme dalam sila-sila yang lain.

4.      Sila 4, mendasari pengembangan ipteks secara demokratis.

5.   Sila 5, mengkomplementasikan pengembangan ipteks haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan bangsa dan negara serta manusia dengan lingkungan.

B.        PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA EKONOMI

 Sejarah perkembangan bangsa-bangsa menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kehidupan ekonomi dan format politik. Hal ini mudah dimengerti karena kehidupan ekonomi bersangkut paut dengan masalah produksi, distribusi dan konsumsi serta pertukaran jasa dan barang, sedangkan format politik bertautan dengan kultur, struktur dan prosedur hidup bersamaan antara manusia yang memerlukan barang dan jasa tersebut. Perkembangan sejarah tersebut juga berlaku dalam kehidupan ekonomi dan politik di Indonesia.

Mubyarto mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang humanistik yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan seluruh bangsa. Sehingga menghindarkan persaingan bebas dan monopoli yang menimbulkan penindasan antara manusia satu dengan yang lainnya.

Landasan umum pembanguna ekonomi di Indonesia dinyatakan dalam Trilogi Pembangunan, yang prioritasnya disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Trilogi Pembangunan adalah : Stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Guna mencapai sasaran tersebut, pemerintah menyusun rencana pembangunan ekonomi secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Rencana tersebut dituangkan dalam Rangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang terdiri atas Repelita I hingga Repelita V (1969-1995) atau (Pembangunan Jangka Panjang Tahap I) dan Repelita VI (1995-2000), yang merupakan tahap untuk memperkuat Landasan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.

Sejak Repelita I hingga VI, pemerintah telah menyusun arah pembangunan ekonomi dengan jelas. Sasarannya adalah menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri, yang pelaksanaannya dititik beratkan pada bidang ekonomi. Sasaran pembangunan bidang ekonomi adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapai struktur ekonomi yang seimbang, yaitu kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh.

C.        PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

Kondisi sosial dan budaya yang sangat beragam dalam kehidupan bermasyarakat memerlukan sentuhan kebijakan dan tindak lanjut untuk mendukung perbaikan infrastruktur sosial budaya yang dimiliki. Infrastruktur sosial ini sangat luas karena mengangkat aspek kesejahteraan disatu pihak dan partisipasi mereka dalam pembangunan di lain pihak.

Beragamnya masyarakat yang tinggal dapat dipandang sebagai suatu potensi pembangunan, tetapi dapat juga menjadi peluang bagi terjadinya peristiwa-peristiwa yang bersifat primodial dan partosan. Sebagian dari mereka sangat fanatik terhadap kelompoknya sendiri dan menganggap kelompok lain sebagai saingan atau musuhnya. Kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat sehingga mudah emosi dan terprovokasi yang berkembang menjadi perkelahian massal antara warga masyarakat. Konflik sosial semacam ini sering terejadi di sejumlah wilayah dengan latar belakang dan penyebabnya kadang-kadang sangat sederhana.

Pemahaman dan implementasi demokrasi yang tidak komprehensif telah menjurus pada kebebasan yang tak terkendali. Sebagian masyarakat merasa bebas untuk berbuat apa saja tanpa mengindahkan hukum. Kebebasan dan unjuk kekuatan telah menjadi model dan instrumen untuk menyampaikan tuntutan, yang bila tidak dikendalikan secara hati-hati berpotensi untuk menjadi tindakan-tindakan anarkis yang sangat meresahkan dan mengganggu kehidupan normal masyarakat. Dengan demikian, kedeweasaan dan sikap-sikap elegan khususnya pada masyarakat menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan lagi.
Hendaknya berdasarkan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat, dalam reformasi terjadi gejolak masyarakat yang jauh nilai-nilai kemanusiaan akibat dari akumulasi persoalan politik, selain itu juga, meningkatnya fanatisme kedaerahan. Arah kebijakan dan pembanguna sosial adalah sebagai berikut :

a.       Keagamaan
Membina dan meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dengan menyempurnakan kualitas pelaksanaan obadah menurut syariat agamanya masing-masing serta meningkatkan kemudahan umat beragama dalam nejalankan ibadahnya.

b.      Kesejahteraan Sosial
Menciptakan iklim kehidupan yang layak berdasarkan atas azas kemanusiaan yang adil untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik terutama bagi kelompok masyarakat yang miskin dan anak terlantar, memantapkan penanganan PMKS, mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial, serta memberikan pelayanan yang memadai bagi masyarakat dalam permasalahan pemakaman.

c.       Pemberdayaan Masyarakat
Menciptakan iklim kehidupan masyarakat yang layak dan kondusif melalui pembangunan ketahan masyarakat dan penanggulangan degradasi moral masyarakat dalam upaya meningkatkan partisipasinya dibidang ekonomi dan sosial dari tingkat propinsi sampai tingkat kelurahan, termasuk memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan jender diberbagai bidang kehidupan.

d.      Pelestarian Budaya
Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian dengan tetap mengacu pada moral, etika, estetika dan agama, serta tetap melestarikan apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional.

e.      Olahraga dan Kepemudaan
Menciptakan dan mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan dan mengorganisasikan dirinya sebagai wahana pendewasaan untuk melindungi seluruh generasi muda dari bahaya destruktif, terutama penyalahgunaan narkotika, obat terlarang dan zat aditif lainnya.

Disamping itu juga meningkatkan pembibitan dan pembinaan olahraga prestasi dan permassalan olahraga secara sistematis dan komprhensif melalui lembaga-lembaga pendidikan olahraga dan pembinaan pramuka.

D.        PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA HANKAM

 Pertahanan dan keamanan harus didasarkan pada tujuan demi terjaminnya harkat dan martabat manusia. Negara mesti didasarkan pada negara hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan. Setiap warga negara harus memiliki jiwa mempertahankan keutuhan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Dengan menanamkan jiwa kesatuan Pancasila dalam dirinya.

E.         PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN BIDANG KEHIDUPAN BERAGAMA

Sesuai dengan GBHN 1999-2004 pembangunan agama diarahkan untuk : (1) Memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar segala perundang-undangan tidak bertentangn dengan moral agama-agama; (2) Meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama sehingga terpadu dan integral dengan sistem pendidikan nasional yang didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap; (3) Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antarumat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama secara deskriptif yang tidak dogmatis untu tingkat perguruan tinggi; (4) Meningkatkan kemudahan umat beragama dalam menjalankan ibadahnya, termasuk peyempurnaan kualitas pelaksanaan ibadah haji dan pengelola zakat, dengan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraannya; (5) Meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam ikut mengatasi dampak perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupan untuk memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan reformasi dibeberapa daerah terjadi konflik, terutama masalah agama. Kehidupan agama harus dikembangkan untuk terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang ada.

Program pembangunan bidang agama meliputi :


a.       Program Peningkatan Pelayanan Kehidupan Beragama
Kegiatan program ini meliputi : (1) Memberikan bantuan untuk rehabilitasi tempat ibadah dan pengembangan perpustakaan tempat peribadatan; (2) Meningkatkan pelayanan nikah melalui KUA; (3) Meningkatkan kemampuan dan jangkauan petugas pencatat nikah/perkawinan; (4) meningkatkan pelayanan pengelolaan dan pengembangan zakat dan wakaf serta pembinaan ibadah sosial; (5) Dan lain sebagainya.

b.      Program Peningkatan Pemahaman dan Pengalaman Agama, dan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Kegiatan program ini meliputi : (1) Melakukan penyuluhan dan bimbingan keagamaan; (2) Menyediakan sarana dan prasarana; (3) Memberikan bantuan paket untuk daerah terpencil dan tertinggal; (4) Membentuk jaringan dan kerjasama lintas sektor serta masyarakat untu memberantas pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, pelacuran, dan praktek-praktek asusila; (5) Menyusun RUU tentang kerukunan hidup umat beragama; (6) Dan lain sebagainya.

Selasa, 02 Mei 2017

Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penegakan Hukum


   Soerjono-Soekanto menyebutkan bahwa penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubngan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah/kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian, keadilan dan kepastian hukum di dalam pergaulan hidup.

Penegakan Hukum

    Masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor pengaruh. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut :

1.     Hukumnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah undang-undang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, dan undang-undang dibuat haruslah menurut ketentuan yang mengatur kewenangan pembuatan undangundang sebagaimana diatur dalam Konstitusi negara, serta undang-undang dibuat haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat di mana undang-undang tersebut diberlakukan. Unda-undang harus sesuai dengan asas-asas hukum yang telah ditetapkan. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan didalam undang-undang tersebut. Karena hukum adalah suatu sistem yang saling berhubungan dan saling keterkaitan.

2.     Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam bidang penegakan hukum. Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan tugas tersebut dilakukan dengan mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk semua anggota masyarakat. Penegak hukum memiliki wiwenangnya sendiri-sendiri. Namun, tidak menjalankan tugasnya dengan sewenang-wenangnya karena penegak hukum adalah salah satu faktor penunjang dari pada berhasil atau tidaknya suatu hukum yang berlaku.

3.     Masyarakat, yakni masyarakat lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Maksudnya warga masyarakat harus mengetahui dan memahami hukum yang berlaku, serta menaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadaran akan penting dan perlunya hukum bagi kehidupan masyarakat. Masyarakat juga dituntut untuk tidak melanggar peraturan yang telah dibuat dan ikut melestarikan kedamaian guna kehidupan yang lebih sejahtera. Objek dari hukum itu sendiri adalah sesuatu yang diaturnya. Disini masyarakat selain sebagai subjek hukum juga bisa dikatakan sebagai objek dari pada hukum itu sendiri.

4.     Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas`tersebut mencakup tenaga manusia yang terdidik dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya. Ketersediaan sarana dan fasilitas yang memadai merupakan suatu keharusan bagi keberhasilan penegakan hukum. Kurangnya fasilitas akan menghambat kinerja para penegak hukum.

5.     Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dalam hal ini kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Tidak semua kebudayaan selaras dengan hukum yang dibuat. Terkadang ada juga kebudayaan yang sangat bertentangan dengan hukum yang ditetapkan. Hal ini akan menghambat kinerja daripada hukum itu sendiri. Memang budaya adalah salah satu lambang suatu bangsa. Tapi kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

    Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Faktor hukum yang mencakup hukum perundang-undangan,  hukum adat, yurisprudensi, hukum traktat, doktrin, harus hormanis dan tidak saling bertentangan.

    Penegakan hukum dapat berjalan baik apabila : (1) hukum perundang-undangan sederhana, jelas dan tepat; (2) hukum perundang-undangan tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal; (3) peringkat perundang-undangan harus tegas sehingga menutup kemungkinan adanya produk perundang-undangan yang menyeleweng; (4) peningkatan peranan hukum adat, yurisprudensi, maupun traktat untuk mengisi kekosongan dalam perundang-undangan.

    Faktor sarana atau fasilitas pendukung, penegak hukum mencakup perangkat lunak dan keras. Perangkat lunak misalnya pendidikan sedangkan perangkat keras misalnya fasilitas fisik seperti gedung, mobil dan sebagainya.

    Faktor masyarakat ditentukan oleh taraf kesadaran dan kepatuhan hukum. Kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur-unsur pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan prilaku hukum. Tingkat kesadaran hukum akan tercapai apabila masyarakat mematuhi hukum.

    Faktor kebudayaan sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsep-konsep abstrak mengenai apa uang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan yang ekstrem yang harus diserasikan.

Moralitas dan Legalitas

     Moralitasberasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain; akhlak budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani; bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.

    Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.

Moralitas dan Legalitas

    Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.

    Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kantmemberikan penegasan hubungan antara moralitas dan legalitas. Dalam metafisika kesusilaan, Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas.

      Selanjutnya oleh Kant ditegaskan bahwa moralitas adalah kesesuaian sikap perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum bukan karena hal itu akan menguntungkan atau karena takut pada snksinya, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan suatu kewajiban yang harus ditaati. Oleh Kant ditegaskan bahwa kesungguhan sikap moral kita baru tampak kalau kita bertindak demi kewajiban itu sendiri, kendati itu menenakkan kita ataupun memuaskan perasaan kita. Dorongan atau motivasi lain selain kewajiban (seperti belas kasihan, dan iba hati) memang patut  dipuji, tetapi itu sama sekali tidak mempunyai nilai moral. Menurut Kant, kewajibanlah yang menjadi tolak ukur atau batu uji apakah tindakan seseorang boleh disebut tindakan moral atau tidak.

    Selanjutnya Kant membedakan moralitas menjadi dua yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom adalah sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang di inginkan ataupun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi tugas kewajiban itu.

Adapun moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai hal yang baik. Di dalam moralitas otonom, orang mengikuti dan menerima hukum bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya ataupun takut pada penguasa, melainkan karena itu dijadikan kewajiban sendiri berkat nilainya yang baik. Moralitas demikian menurut Kant disebut sebagai otonom kehendak yang merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab ia berkaitan dengan kebebasan, hal yang hakiki dari tindakan makhluk rasional atau manusia.

    Legalitas (legality/gesetzmassigkeit) dipahami Kant sebagai kesesuaian dan ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah. 

Kesesuaian dan ketidaksesuaian ini pada dirinya sendiri belum bernilai moral sebab dorongan batin (triebfeder) sama sekali tidak diperhatikan. Nilai moral baru diperoleh di dalam moralitas.

     Kita mungkin tahu bahwa legalitas merupakan suatu asas, yaitu asas Legalitas. Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.

    Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukumpidana harus berjalan ke depan.

    Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.

Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von Feuerbachyang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von Feuerbachmembagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla poena sine lege);
  1. Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine crimine);
  1. Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali).

Penyidik Dan Penyelidik Dalam Hukum Acara Pidana

Menurut pasal 1 butir 1, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang kh...