Moralitasberasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain; akhlak budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani; bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.
Moralitas dan Legalitas |
Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kantmemberikan penegasan hubungan antara moralitas dan legalitas. Dalam metafisika kesusilaan, Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas.
Selanjutnya oleh Kant ditegaskan bahwa moralitas adalah kesesuaian sikap perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum bukan karena hal itu akan menguntungkan atau karena takut pada snksinya, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan suatu kewajiban yang harus ditaati. Oleh Kant ditegaskan bahwa kesungguhan sikap moral kita baru tampak kalau kita bertindak demi kewajiban itu sendiri, kendati itu menenakkan kita ataupun memuaskan perasaan kita. Dorongan atau motivasi lain selain kewajiban (seperti belas kasihan, dan iba hati) memang patut dipuji, tetapi itu sama sekali tidak mempunyai nilai moral. Menurut Kant, kewajibanlah yang menjadi tolak ukur atau batu uji apakah tindakan seseorang boleh disebut tindakan moral atau tidak.
Selanjutnya Kant membedakan moralitas menjadi dua yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom adalah sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang di inginkan ataupun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi tugas kewajiban itu.
Adapun moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai hal yang baik. Di dalam moralitas otonom, orang mengikuti dan menerima hukum bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya ataupun takut pada penguasa, melainkan karena itu dijadikan kewajiban sendiri berkat nilainya yang baik. Moralitas demikian menurut Kant disebut sebagai otonom kehendak yang merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab ia berkaitan dengan kebebasan, hal yang hakiki dari tindakan makhluk rasional atau manusia.
Legalitas (legality/gesetzmassigkeit) dipahami Kant sebagai kesesuaian dan ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah.
Kesesuaian dan ketidaksesuaian ini pada dirinya sendiri belum bernilai moral sebab dorongan batin (triebfeder) sama sekali tidak diperhatikan. Nilai moral baru diperoleh di dalam moralitas.
Kita mungkin tahu bahwa legalitas merupakan suatu asas, yaitu asas Legalitas. Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukumpidana harus berjalan ke depan.
Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von Feuerbachyang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von Feuerbachmembagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
- tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla poena sine lege);
- Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine crimine);
- Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar